Cegah Kanker Sejak Dini! Ini Alasan Anak Laki-Laki Butuh Vaksin HPV
Kebijakan Kementrian Kesehatan RI yang mulai memberikan vaksinasi Human Papillomavirus (HPV) pada anak laki-laki dibawah usia 15 tahun patut diapresiasi sebagai langkah strategis menuju eliminasi kanker serviks dan penyakit terkait HPV lainnya yang ada di Indonesia.
Terobosan ini menunjukkan pemahaman pemerintah bahwa HPV bukan hanya masalah perempuan, tetapi juga masalah kesehatan bersama yang melibatkan laki-laki sebagai bagian dari rantai penularan.
HPV merupakan virus yang sangat mudah menular melalui kontak seksual, dan lebih dair 80 persen orang akan terinfeksi setidaknya sekali seumur hidup.
Data ini bukan isapan jempol belaka. Laporan CDC (2022) menegaskan tingginya resiko infeksi pada laki-laki dan perempuan.
Yang sering dilupakan, HPV juga menyebabkan kanker anus, penis, dan juga orofaring pada laki-laki, bukan hanya kulit kelamin.
Bahkan, studi Mehanna et al., BMJ 2013, dan Chaturvedi et al., JAMA Oncology 2021, menunjukkan kasus kanker orofaring terkait HPV meningkat pesat pada laki-laki diberbagai negara, melebihi insiden kanker serviks dibeberapa kawasan.
Di sinilah urgensi vaksinasi anak laki-laki. Melindungi mereka berarti melindungi semua dan menurukan risiko kanker pada laki-laki sendiri. Ini sekaligus memperkuat herd immunity agar perempuan pun terlindungi.
Vaksinasi pada usia muda terbukti efektif. Meta analisis Drolet et al., The Lancet 2019, menunjukkan negara dengan cakupan vaksin HPV tinggi berhasil menurunkan infeksi HPV hingga 68 persen hanya dalam waktu 5 hingga 8 tahun.
Kebijakan Kemenkes yang menyasar anak kelas 5 SD (11-12 tahun) hingga usia 15 tahun melalui Bulan Imunisasi Anak Sekolah adalah langka tepat.
Apalagi target nasionalnua selaras dengan strategi WHO 2020, yaitu 90 persen anak menerima vaksin sebelum usia 15 tahun, 75 persen perempuan usia 30-69 tahun menjalani skrining DNA HPV, dan 90 persen perempuan dengan lesi prakanker atau kanker invasif mendapat tata laksana yang memadai.
Kini, tantangan terbesar kita bukan hanya pada penyediaan vaksin, melainkan juga edukasi publik. Masih banyak orangtua yang mengira vaksin HPV hanya untuk anak perempuan, atau bahkan mengaitkannya dengan mitos negatif tentang seksualitas.
Padahal, vaksinasi ini justru investasi kesehatan masa depan, yaitu mencegah penyakit, mengurangi beban biaya pengobatan kanker, dan menyelamatkan generasi mendatang dari risiko yang sebenarnya bisa kita cegah sejak dini.
Vaksin HPV bagi anak laki-laki bukan kebijakan simbolik, melainkan intervensi konkret untuk memutuskan rantai penularan virus.
Dengan pendekatan inklusif, kita membuka peluang lebih besar untuk mencapai eliminasi kanker serviks dan kanker terkait HPV lainnya di Indonesia. Cita-cita yang tidak hanya mulia, tetapi juga sepenuhnya rasional.